Musik Kota Gudeg

Beberapa tahun belakangan scene musik Jogja ini menurut saya adalah scene musik terbaik di Indonesia. Bukan hanya dari musik atau lirik, tapi juga dari aksi panggung. Scene musik kota-kota lain seperti Jakarta atau Bandung - yang sudah pasti nama band-bandnya akrab di telinga - juga bagus, tapi tidak se-kreatif anak-anak kota Gudeg ini (no offense).

Jadi seperti apa bagusnya? mari kita tengok Armada Racun. Band yang sering disebut bergenre Acid Punk ini menghilangkan suara gitar dalam komposisi lagu-lagu mereka. Mereka lebih memilih menambah satu instrumen bass lagi sebagai melodi. Jadi musik mereka terdiri dari double bass berdistorsi, dengan dentingan piano atau keyboard, dan dentuman drum.

Musik mereka sering disebut Acid Rock atau Acid Punk. Bukan hanya dari susunan instrumennya yang ‘nyeleneh‘, lirik-lirik lagu mereka pun bisa membuat kuping panas jika ditelan mentah-mentah. Seperti lirik ‘Amerika’ yang kemungkinan besar saduran dari bunyi sumpah pemuda, bisa jadi merupakan ungkapan rasa frustasi dari pemuda yang kecewa terhadap dominasi negara asing di tanah air, terutama Amerika. “Kami bangsa indonesia mengaku, berbangsa satu.. Amerika!” itulah sepenggal lirik dari lagu Amerika.

Band lain yang membuat saya berdecak kagum adalah Melancholic B1tch atau Melbi, band yang dikenal dengan lirik-lirik penuh wacana dan filsafat. Selain liriknya yang berfilosofis, mereka juga berani melempar album berkonsep ke pasaran.

Sangat jarang musisi lokal yang berani membuat album berkonsep. “Balada Joni dan Susi”, album konsep mereka, menceritakan tentang kisah sepasang kekasih yaitu Joni dan Susi. Namun album ini tidak bercerita mengenai cinta saja. Melbi menyindir banyak hal seperti politik, kemiskinan, dan teknologi, yang dituangkan dalam kisah Joni dan Susi. Meskipun mereka pernah mengaku lebih suka musiknya dibatasi, musik mereka malah beraransemen tidak biasa dan mereka tampaknya semakin cuek dengan musiknya dan menikmati setiap nada-nada aneh yang mereka mainkan. Dengarkan saja lagu Distopia, yang sangat kental pengaruh disko panturanya.

Lalu ada Zoo, sebuah grup dengan minimal instrumen yang terdiri dari bas, drum, vokal, dan tambahan beberapa alat musik etnik. Part-part ganjil, eksplorasi sound yang elegan, ritem yang non-linier, dan vokal yang seperti orang kerasukan adalah resep andalan yang dipertahankan sejak kemunculan mereka. Seperti mendengarkan sebuah band grindcore tapi minus gitar. Tema-tema lirik lagu mereka berkisar pada peradaban modern, keberanian, dan kemerosotan budaya. Mereka juga pernah mengcover lagu wajib nasional “Berkibarlah Benderaku”, saya tidak pernah suka lagu nasional (musiknya) kecuali lagu ini yang dicover oleh mereka.

Pada 14 Juli 2009, Zoo akhirnya merampungkan album penuh (LP) “Trilogi Peradaban” yang resmi dirilis oleh netlabel pertama di Indonesia - yang juga berasal dari Jogjakarta, Yes No Wave Music. Berisi 22 lagu yang terbagi dalam 3 babak: Neolithikum, Mesolithikum, dan Palaeolithikum. Masing-masing babak mewakili konsep musik dan karakteristik tema yang khas.

Selain dirilis format digital, “Trilogi Peradaban” juga dirilis fisik dalam bentuk box-set CD-R yang dijual dalam jumlah terbatas, yaitu 100 kopi. Dengan “kemasan kolektor” dicetak dalam keping cd yang berbeda (3 cd), booklet 20 halaman, dan kotak kemasan yang terbuat dari kayu. Sangat kreatif dan “modal” untuk sebuah band indie yang budget-nya pasti terbatas.

Nah, band satu ini menurut saya adalah band terunik di Jogja. Band ini bernama Punkasila, plesetan dari Pancasila, tentunya. Band yang dibentuk oleh seorang bule bernama Danius Kesminas dan 7 orang mahasiswa Institut Seni Indonesia ini sangatlah unik dan berbahaya.

Mengapa berbahaya? karena mereka bermain-main dengan akronim-akronim nasional seperti TNI atau KOPASSUS. Baca saja judul-judul lagu mereka dalam album Acronym Wars. KOPASSUS (Komando Pasukan Khusus)  diubah menjadi Komando Pasukan Suka Susu, PNU (Partai Nahdlatul Ummat) diubah menjadi Partai Nunut Udud (Partai Nyolong Rokok), atau JIL yang seharusnya Jaringan Islam Liberal diplesetkan menjadi Jaringan Kapir Liberal.

Dan masih banyak singkatan lainnya yang tentunya tidak sopan untuk ditulis disini. Wajar saja mereka sering menggelar pentas diluar. Karena kalau mereka mengadakan pentas di tanah air, pasti mengandung resiko. Bukan hanya dari lirik atau judul, kostum dan instrumen yang mereka kenakan pun aneh. Berpakaian loreng, ala militer. Ada juga yang berpakaian seperti mayat berdarah-darah, gitar dan bass yang dimainkanpun aneh sebab dibuat khusus dengan kerangkanya seperti AK47, M16 dan beberapa senjata militer. Mikrofon dibuat seperti granat lempar dan radio transmisi. Bahkan mereka juga punya “Garuda Punkasila”.

Jangan heran kalau FPI sudah ancang-ancang bakalan merangseknya. Maklum saja lambang yang diusung adalah Garuda Pancasila yang sedang menengok kekanan. Tetapi kata-kata diatasnya diganti menjadi “Punkasila” - lalu cakar burung yang biasa membawa slogan Bhineka Tunggal Ika diganti sebuah AK47. Inilah susunan personil Punkasila beserta alat musiknya:

“Hahan” Uji Handoko Eko Saputro: radio transmission vocals
Danius Kesminas: megaphone and hand grenade microphone
Rudy “Atjeh” Dharmawan: KSP Stehr AUG, 5.56mm guitar
“Iyok” Prayoga Satrio Utomo: KSP Zastava M80, 5.5mm guitar
Janu Satmoko: KSP hybrid M16/greande launcher bass
Prihatmoko “Moky” Catur: drums and amplified ballistics
Gde Krisna Widiathama: anti-keyboard satellite signals
Wimo Ambala Bayang: modified communications devices

Sebenarnya masih banyak band-band unik lainnya dari Jogja seperti Frau, Serigala Malam, dan Cranial Incisored. Para musisi Jogja ini juga sudah merilis sebuah album kompilasi bertajuk “Jogja Istimewa 2010″.
Jadi saya sarankan jika anda ke Jogja, mampirlah ke pentas-pentas kecil band indie dan uderground yang ada disana.

sumber

Related

Music News 8879190632371017467

Post a Comment

Join Us

Twitter

Facebook

Popular Posts

item