Perdebatan Musik

Oleh : Ronald Hutasuhut


Memperdebatkan masalah selera musik sama saja dengan memperdebatkan agama, tidak ada habisnya.. tidak akan selesai. Di dalam suatu perdebatan antar agama-agama, semua akan merasa bahwa agama-nya yang paling benar. Semua yang berdebat saling mengajukan argumen dari berbagai aspek logika maupun filsafat (dan teologi). 


Di dalam perdebatan mengenai selera musik, semua akan merasa bahwa musik-nya lah yang paling baik didengar. Semua yang terlibat dalam perdebatan biasanya terlihat sangat ahli ketika menjelaskan selera musiknya, seperti biasanya juga.. perdebatan semacam ini tidak pernah selesai!


Seorang muslim akan berkata bahwa ia rela mati (jihad/mati syahid) demi agamanya, demikian juga seorang kristen akan mengatakan bahwa ia rela memikul salib Yesus dan mati di dalam nama-Nya. Di dalam dunia musik, seorang pecinta musik Rock sejati (fanatik) bisa jadi akan senantiasa mengatakan musik selain musik Rock adalah musik yang ‘tidak pantas’ didengarkan, begitu juga sebaliknya, seorang penggemar musik Pop (easy listening) bisa jadi akan selalu mengatakan bahwa musik Rock adalah musik yang ‘ga karuan’.

Hal yang terlihat sederhana ini seringkali menjadi penyebab suatu ‘kericuhan’ atau perdebatan yang keras di dalam dunia musik, dimana masing-masing pelaku/peminat saling mengejek musik-musik selain musik yang mereka gemari. Tidak jarang hal ini menimbulkan kebencian dan akhirnya menyebabkan keributan (walaupun tidak terlihat).


Perdebatan dalam agama dan musik memiliki sedikit persamaan.
Pemeluk agama memiliki pendirian yang teguh berdasarkan apa yang mereka yakini di dalam kitab suci agama masing-masing. Memang, mereka sering beragumentasi melalui pemikiran-pemikiran logika, terutama yang menyangkut Sejarah dan Ilmu Pengetahuan (empiris), namun seperti yang dapat kita ketahui bahwa Agama melalui kitab sucinya juga memuat hal-hal mengenai Tuhan (atau apapun sebutan kita terhadap sang Pencipta), dan Tuhan adalah sebuah kata yang tidak dapat dijelaskan dengan logika manusia, artinya: Ilmu Pengetahuan berdasarkan logika (sains) tidak dapat menjelaskan mengenai kehadiran/keberadaan Tuhan, karena Tuhan yang diyakini pemeluk agama-agama tidak memiliki bentuk/rupa/wujud secara fisik dan kasat mata. Keberadaan Tuhan hanya bisa diyakini benar adanya.. berdasarkan iman/kepercayaan masing-masing pemeluk agama (manusia).


Hubungannya dengan perdebatan mengenai selera musik adalah bahwa penggemar musik akan hanya selalu dapat menjelaskan musik yang digemarinya berdasarkan keinginan hati.. atau sering dikatakan dengan istilah Selera.
Jika kita berdebat tanpa adanya suatu kepastian nyata/berwujud untuk disepakati bersama, maka kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan suatu perdebatan dengan sebuah keputusan. Dengan kata lain, jika kita hanya berargumen berdasarkan keinginan hati (iman atau selera) kita saja, maka akan sangat sulit sekali bagi kita untuk mencari suatu keputusan yang ‘paling benar’. Hal ini sudah sering terjadi dalam perdebatan-perdebatan mengenai Agama dan selera Musik. 


Mengapa hal ini diangkat menjadi suatu pembahasan, penulis ingin mencoba menjelaskan suatu kondisi dalam dunia musik mengenai penyampaian kritik musik. Jika kita mengkritik suatu karya musik berdasarkan selera yang kita miliki, maka kritikan tersebut hanya merupakan sebuah pendapat pribadi saja, tidak terlalu berguna jika kita mengharapkan suatu perubahan dari apa yang kita kritik. 


Karena itulah diperlukan lebih dari sekedar pendapat pribadi untuk mengkritik suatu karya seni, dalam hal ini.. kita membutuhkan teori musikal untuk mengkritik karya-karya seni musik, sehingga kritik yang disampaikan mengandung suatu kepastian ilmu pengetahuan (mengenai musik) yang dapat digunakan sebagai acuan standar kualitas musik.


Mengkritik musik melalui pembahasan teori musik sudah dilakukan oleh Kritik Musik Indonesia (KMI). Dalam proses penyampaian kritik yang dilakukan, KMI tidak mencoba untuk menghilangkan/merubah ’selera’ para peminat musik karena yang disampaikan adalah kritik mengenai segala unsur musikal yang terdapat dalam suatu karya musik berdasarkan teori musikal. 


Setelah menjelaskan segala unsur-unsur musikal tersebut, maka penilaian ’suka atau tidak’-nya diserahkan kembali kepada masyarakat (peminat musik).


Yang diharapkan adalah penyampaian kritik menjadi lebih mudah dilakukan dan lebih bermanfaat bagi terselenggaranya perbaikan/peningkatan dunia musik Indonesia. Dan yang diharapkan juga adalah setiap pelaku seni dapat (bersedia) menyatakan musik mereka melalui acuan teori musikal agar kita semua dapat senantiasa berbesar hati ketika menerima kritik demi kepentingan bersama. Jika kita membicarakan suatu logika ilmu pengetahuan, maka usaha pencapaian hasil dalam suatu perdebatan (terutama mengenai musik) dapat lebih mudah didapatkan.






Perihal sistem perdebatan ini juga tampaknya dapat kita terapkan juga ke dalam praktek perdebatan hukum. Sederhana saja, seharusnya suatu proses hukum tidak menjadi terlalu rumit karena hukum yang diterapkan di negara kita memiliki landasan (peraturan) yang tertulis dan disahkan oleh otoritas yang kuat juga. Apa yang tertulis dalam landasan hukum kita.. itulah yang dilakukan, apa yang tidak ada dalam hukum kita.. itulah yang kita adakan. Jika ada sesuatu yang perlu dirubah, itulah yang kita rubah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bersama.


Namun seperti yang telah disampaikan di atas, jika kita hanya berbicara berdasarkan keinginan hati (selera), maka sia-sia memindahkan air laut, tidak akan habis.
catatan: mohon dibaca secara berulang agar kita semua dapat memahami bahwa tulisan ini tidak mengandung SARA dan tidak bermuatan politik. Tulisan ini hanyalah sebuah pendapat untuk direnungkan. Terima kasih.


Oleh : Ronald Hutasuhut

Related

opini 9039771174462069330

Post a Comment

Join Us

Twitter

Facebook

Popular Posts

item