Those Shocking Shaking Days: Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk 1970-1978
https://rocksoundhardcore.blogspot.com/2011/06/those-shocking-shaking-days-indonesian.html
“Now-Again Records presents a new, essential entry into the growing phenomenon known as Psych-Funk with Those Shocking Shaking Days: the untold story of Indonesia’s various underground 70s musical scenes” (Now Again Records)
Heritage Indonesia yang terkubur bukan hanya beragam seni tradisi seperti tari-tarian daerah, ukiran batik, atau lagu-lagu daerah, karena ternyata budaya pop Indonesia di masa lalu pun meninggalkan harta karun yang cukup menjadi buruan terutama oleh mereka yang berada di luar negeri. Salah satunya adalah antologi dari skena musik rock-psikadelik-funk-progresif Indonesia era 70′an yang dirangkum ke dalam album piringan hitam / vinyl berjudul “Those Shocking Shaking Days: Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk 1970-1978″. Nama antologi ini sendiri diambil dari judul lagu Ivo’s Group yang juga menjadi salah satu pengisi “harta karun” yang terselamatkan ini.
Adalah Now Again Records, label independen tenar dan berpengaruh asal Amerika yang berada dibalik antologi ini. Now Again milik Eothen Alapat a.k.a Egon ini merilis 20 lagu dari berbagai grup tua seperti: Panbers, Koes Plus, Ivo’s, The Brims, Terenchem, Rollies, Ariesta Birawa, Benny Soebarja and Lizard, dll. Produk yang dikerjakan pada format yang sudah langka, piringan hitam, bisa dibilang “peninggalan berharga” dari budaya pop Indonesia berupa antologi perjalanan musik rock Indonesia dari tahun 1970-1978.
Ada beberapa pihak yang cukup berkontribusi dalam lahirnya antologi ini. Diantaranya Winbert Hutahaean, seorang diplomat Indonesia yang bekerja di KJRI Toronto, Kanada. Seperti yang diceritakan Winbert di reviewnya yang ia rilis di situs Youtube, ia yang juga kolektor vinyl itu sudah sejak lama berkorespodensi dengan seorang DJ hip-hop asal Kanada Jason “Moss” Connoy yang juga menjadi kurator untuk antologi ini. Winbert sering mengirim berbagai rilisan musik dari Deddy Dores, Superkid, Harry Roesli, (6 album), Koes Plus, Kembar group, C Blues, Panbers, Rhoma Irama, Fariz RM, Deddy Stanza, Pattie Sisters, AKA, Paramour, Manfill’s. Namun, ternyata Moss yang memiliki koneksi kuat dengan Egon yang juga general manager Stone Throw Records itu lebih tertarik dengan talenta-talenta rock-psikadelik Indonesia yang dirilis pada dekade 60 hingga 70′an.
Tentunya antologi ini juga tidak lepas dari peran legenda hidup jazz Indonesia, Benny Soebardja yang dibantu oleh peneliti Chandra Drews. Benny bertugas untuk menemui perwakilan dari setiap band dan menjadi kepanjangan tangan Egon dalam membayar royalti dari antologi ini. Sedangkan Chandra ditugasi untuk menulis liner notes, yang kini bisa dilihat di sleeve album ini. Catatan-catatan tersebut menambah daya tarik dari antologi ini, disitu tercantum tentang sejarah musik Indonesia, berbagai photo lawas, dan gambar dari piringan hitam asli masing-masing album.
Seperti yang dikatakan Egon dalam wawancaranya dengan Rolling Stone Indonesia, ia memilih lagu-lagu yang lebih menunjukkan “ke-Indonesia-an” dengan jelas, namun tetap dapat dicerna oleh orang-orang Barat yang memang dijadikan sebagai sasaran pasar antologi ini. Itu pulalah yang menjadi alasan antologi ini lebih didominasi oleh lagu berbahasa Inggris. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa album ini adalah sebuah upaya untuk menunjukkan kepada dunia luar mengenai musik-musik menakjubkan dari Indonesia yang diciptakan oleh jiwa-jiwa pemberontak dan pemberani pada saat Soeharto masih berkuasa.
Memang, menurut catatan sejarah cukup banyak fenomena unik yang terjadi di scene musik rezim orde baru pimpinan Soeharto. Sedikit kilas balik, salah satu contohnya adalah pembatasan-pembatasan formal oleh pemerintah kala itu untuk para musisi guna mewujudkan musik yang berkepribadian nasional. Misalnya pada tatanan rambut dimana musisi harus menyisir rapi rambut sesuai ukuran pemerintah untuk bisa tampil di layar kaca TVRI. Hal tersebut pernah berimbas pada absennya The Rollies tampil di televisi setelah Benny Likumahua membuka topi dan mengibaskan rambut panjangnya saat diwawancarai Remy Sylado di acara Kamera Ria TVRI.
Kebijakan-kebijakan politik orde baru memang mewarnai perjalanan musik (terutama rock) di Indonesia. Dan karena itu pulalah Now Again Records asal Amerika tertarik untuk membuat antologi Those Shocking, Shaking Days ini.
Perlu diketahui, antologi ini bukanlah bentuk pembajakan karena terdapat laison resmi dan royalti yang disetujui sebagian besar artis (sisanya masih dicari keberadaan dari perwakilan band yang notabene tidak diketahui keberadaannya). Antologi ini secara resmi dirilis tanggal 8 Maret 2011 lalu dengan kisaran harga (piringan hitam) Rp 485.000. Those Shocking, Shaking Days juga dirilis dalam bentuk cd, namun banyak pihak menyarankan agar lebih baik membeli versi piringan hitam karena itulah roh dan spirit musik tahun 1970-an. Keuntungan lainnya dari bentuk piringan hitam adalah, kamu akan mendapatkan ukuran booklet yang lebih besar dan tentunya memiliki nilai investasi yang lebih dari sekedar barang koleksi.
Bagi saya yang baru benar-benar bersinggungan dengan musik di era Blink-182, antalogi rock Indonesia era 70′an ini benar-benar memberi kesan mendalam khususnya pada sisi komposisi musik, lirik, complicated-nya polemik serta konflik yang terjadi di scene yang menjadi cikal bakal industri musik kita saat ini yang banyak mengalami pergeseran. Menyenangkan sekali menyimak brass rock ala The Rollies, progressivenya permainan The Gang of Harry Roesli ataupun Superkid, dan sederhananya isi lirik Anti Gandja dari The Brims yang sarat akan pesan. Walaupun dengan kualitas rekaman khas tahun 70′an yang tidak sebaik hasil rekaman digital, namun masterpiece dari legenda-legenda rock terbaik Indonesia ini amat layak simak. Hal yang patut disayangkan hanyalah, kenapa kepedulian terhadap harta yang tertimbun di negeri sendiri ini berasal dari perhatian besar orang barat terhadap budaya pop Indonesia.
Berikut track-track yang terdapat di Those Shocking, Shaking Days:
1. Haai (Panbers)
2. Anti Gandja (The Brims)
3. Bad News (Rollies)
4. Evil War (Shark Move)
5. Hear Me (Golden Wing)
6. Do What You Like (AKA)
7. That Shocking Shaking Day (IVO’s Group)
8. Didunia Yang Lain (Ariesta Birawa Group)
9. Jeritan Cinta (Terenchem)
10. Candle Light (Benny Soebardja and Lizard)
11. People (Super Kid)
12. Mobil Tua (Koes Plus)
13. Don’t Talk About Freedom (The Gang Of Harry Roesli)
14. Saman Doye (Black Brothers)
15. Shake Me (AKA)
16. Pemain Bola (Rasela)
17. Freedom (Freedom Of Rhapsodia)
18. The Promise (Rhythm Kings)
19. Uang (Duo Kribo)
20. Pantun Lama (Murry)
2. Anti Gandja (The Brims)
3. Bad News (Rollies)
4. Evil War (Shark Move)
5. Hear Me (Golden Wing)
6. Do What You Like (AKA)
7. That Shocking Shaking Day (IVO’s Group)
8. Didunia Yang Lain (Ariesta Birawa Group)
9. Jeritan Cinta (Terenchem)
10. Candle Light (Benny Soebardja and Lizard)
11. People (Super Kid)
12. Mobil Tua (Koes Plus)
13. Don’t Talk About Freedom (The Gang Of Harry Roesli)
14. Saman Doye (Black Brothers)
15. Shake Me (AKA)
16. Pemain Bola (Rasela)
17. Freedom (Freedom Of Rhapsodia)
18. The Promise (Rhythm Kings)
19. Uang (Duo Kribo)
20. Pantun Lama (Murry)